Cerita Horny amis malam aku kebetulan pulang dari proyek. Dalam perjalanan aku melewati sebuah rumah sakit. Aku secara nggak sengaja melihat dari kejauhan nampak seorang gadis berambut panjang mengenakan jas ketat putih dan span putih pendek. Wow… cantik sekali dia. Lalu, waktu dia berdiri menunggu taksi, aku mendekatinya dan kuberhentikan mobilku di depannya.
– “Permisi… Mbak… bisa mengganggu sebentar..?” kataku sambil memperhatikan wajahnya yang cantik bak bidadari.
“Ya… ada yang bisa saya bantu..?” katanya dengan suara merdu sekali. Lalu, dia menyambutku dengan senyum manis walaupun sebelumnya sempat melirik jam di tangannya.
Setelan bajunya sungguh menarik. Rupanya ia memadukan rok bawahan seragam perawatnya dengan blazer ketat putih juga, sampai belahan dadanya nampak menonjol saking ketatnya. Sedang sepatunya sudah diganti sepatu hak tinggi.
Wah kasihan juga cewek cantik ini menunggu kedinginan di tengah udara dingin musim hujan. Di leher jenjangnya terbelit syal bulu warna hitam, namun tidak menutupi belahan payudaranya yang terdesak ketatnya blazer, hm.. mulusnya.
Lalu, aku turun dari mobil. “Permisi Mbak, saya mau tanya… kalau mau ke jalan Betken… arahnya kemana ya Mbak..?” kataku.
“Ooo… Mas lurus aja, terus kalau ada perempatan belok kanan, lalu belok kiri, terus kanan terus kiri lagi..” jawabnya membingungkan.
“Eee… saya tambah bingung. Gimana kalau Mbak mengantar saya ke alamat ini dan sebagai gantinya saya akan mengantar Mbak pulang ke rumah Mbak… gimana..?” kataku.
“Aduhhh… gimana ya, saya sebenarnya mau ke Rumah Sakit.” jawabnya agak takut.
“Jangan takut Mbak… saya orang baik-baik kok, nanti saya antar Mbak.” kataku lagi.
“Ya… deh.” jawabnya. “Nah, gitu dong… mari silakan.
” kataku sambil membukakan pintu mobil. Akhirnya kami langsung saja mencari jalan kutanyakan tadi. Padahal itu rumahku sendiri lho.
“Eee.., kalau boleh tahu nama Mbak siapa..?” tanyaku.
“Sintia Mas…” katanya singkat sambil menutupi bagian pahanya yang dari tadi membuat juniorku berdiri. Habisnya putih, mulus dan berbulu sih.
“Saya Robet, Mbak. Kok malam-malam ke rumah sakit. Siapa yang sakit Mbak..?” tanyaku pura-pura nggak tahu.
“Nggak ada Mas… Sintia kerja di rumah sakit.” jawabnya.
“Ooo… jadi Mbak seorang suster rupanya. Wah.., Robet tidak menyangka Mbak seorang suster, habis Mbak kelihatan seperti artis Tamara Gerandong sih..
” kataku becanda. “Ahhh… Mas Robet bisa aja..” jawabnya manja sambil mencubit lenganku.
Wahhh.., nih cewek kok sudah berani nyubit tanganku.
“Mbak Sintia masih sendiri atau udah menikah..?” tanyaku.
Lalu, dia diam seribu satu bahasa. “Lho.., kenapa Mbak koq diam… apa pertanyaan Robet menyinggung perasaan Mbak… kalau gitu nggak usah dijawab deh…” kataku.
“Nggak kok nggak pa-pa, sebetulnya Sintia udah menikah tapi kami harus berpisah gara-gara suami Mbak selingkuh dengan cewek lain..” katanya sambil meneteskan air mata.
“Ma’af ya Mbak. Robet telah mengungkit masalah pribadi Mbak.” kataku.
“Nggak pa-pa. Eee.., omong-omong umur Mas Robet berapa sih..?” tanyanya.
“Udah tua Mbak. 24 tahun 12 bulan 1 hari 1 jam 30 menit 20 detik.” kataku.
“Idihh.. Mas Robet masih tergolong ‘brondong’ dong. Kalau Mbak udah kepala tiga lebih sedikit lagi. Udah tua Bet.” katanya manja. “Tapi Mbak masih cantik dan sexy lho.” kataku memuji.
“Ahh.. Mbak udah merasa tua kok Bet.” katanya.
“Tapi, Robet lihat Mbak masih montok lho, dan sorry ya Mbak.” kataku menggoda.
“Ihh.. kamu nakal ya.” katanya sambil menyubit pahaku.
Wow.., tadi nyubit tangan, sekarang paha. Ada peningkatan nih.
“Robet udah punya pacar belum? Pasti sudah ya, kamu kan cakep.” katanya manja.
“Robet belum punya pacar Mbak. Robet masih perjaka lho.” kataku.
“Apa..! Masih perjaka. Ahhh.. yang bener. Masak sih..?” katanya.
“Bener Mbak. Swear deh. Emang kenapa sih Mbak..?” kataku.
“Nggak pa-pa, cuman Mbak nggak percaya kalau cowok seganteng kamu masih belum punya pacar dan hebatnya masih perjaka lagi. Nah.., Mbak jadi curiga nih.” katanya.
“Curiga apaan Mbak..? Robet cowok normal kok. Kalau Mbak nggak percaya boleh ditest.” kataku menantang. “Baik. Entar kalau udah nyampe ya..!” katanya.
Lalu, setelah sampai, “Bet. Mbak pingin kencing nih..! Dimana WC-nya..?” tanyanya. “Sama Robet aja Mbak sekalian ngetes. Ok..?” kataku. “Ya deh adik ganteng.” katanya manja.
Sesampai di WC, Mbak Sintia melepaskan CD-nya, lalu duduk kencing di kloset. Sementara saya mengeluarkan si Junior dan kencing di sebelahnya. “Wow.., punyamu boleh juga Bet.” katanya sambil melihat kemaluanku.
Setelah kencing cukup banyak, lalu kontolku kucuci pakai air semprotan. Ternyata karena melihat paha mulus Mbak Sintia, airnya mengenai celanaku. Tanpa kusadari Mbak Sintia lalu mengambil toilet paper lalu jongkok membersihkan celana basahku. Sementara itu si Junior masih keluar dengan gagah, sekalian dikeringkan oleh tangan Mbak Sintia yang cekatan.
Terkena jemari mulus yang dingin itu, karuan saja si Junior langsung siaga kuning. Melihat itu, Mbak Sintia lalu tersenyum dan melirik ke arahku, lalu kontolku yang mekar langsung saja dikulumnya. Terkena perubahan suhu begitu, si Junior langsung code red. Mulut Mbak Sintia terlalu kecil, jadi tidak mampu menampung keseluruhannya. Tapi lama-lama mulutnya dapat menampung setengahnya.
Mungkin karena melihat si Junior yang tegap, tinggi dan gagah, Mbak Sintia jadi sangat bernafsu. Lidahnya semangat sekali mengitari Juniorku sambil sesekali menggigit kantungku yang sudah mengeras. Sesekali disedotnya ujung kontolku, lalu ditarik mulutnya sehingga berbunyi.
Mulut mungil indahnya bagai vacum cleaner menyedot si Junior. Jemari halusnya menyelinap di antara celah pantatku dan sesekali menggenggam si Junior yang mulai berontak kena siksaan. Sementara itu aku yang memang terasa nikmat, hanya dapat mengelus-elus kepala dan mencengkeram rambut Mbak Sintia. Cerita Sex Gara-Gara Salah Jalan
“Ahh.., Mbak, enak. Yahh..!” mendengar rintihanku dia tetap memasukkan Juniorku ke dalam mulutnya.
“Oohh.., terus Mbak..!” pintaku.
Sementara itu kepalanya menghisap Juniorku sampai keadaan dimana aku merasakan kejang dan kontolku berdenyut-denyut sangat hebat sekali. “Oohh.. Ohh.. Robet hampir keluar Mbak. Ohh..!” erangku.
Semakin ganas kepalanya maju-mundur. Dia semakin mempercepat kocokan dan sedotannya. Dan, Juniorku memuntahkan isinya di dalam mulut Mbak Sintia dan dengan bernafsu ditelannya muntahan sperma dan sisanya dijilatnya sampai bersih.
“Makasih ya Mbak.” kataku. “Sama-sama, Bet.
Tapi, Mbak masih belum yakin kamu bisa ngalahin Mbak.” katanya dengan lembut.
“Jadi ceritanya Robet mau dites lagi nih..?” tanyaku.
“Ya ya ya. Dan sekarang kita mandi dulu biar segar dan kita ulangi lagi nanti ya di kamar.” katanya.
Aku masih mengenakan handuk yang dililitkan ketika Mbak Sintia datang membawa segelas kopi susu hangat yang dibuatnya di dapurku dan memberikannya padaku.
“Bet.., minum dulu ya Sayang. Biar tambah segar.” katanya sambil menyodorkannya padaku.
Lalu, aku seruput kopi susu hangat itu dan, “Aahh… enak sekali minuman bikinan Mbak.
Wow.. pas susunya.” kataku menggodanya.
“Idih. Kamu nakal deh..!” katanya sambil melompat ke arahku.
Kami berciuman kembali. Mbak Sintia tampak sangat menikmati ciumanku ini. Matanya terpejam dan napasnya mendesah serta bibirnya dengan lembut mengecup sambil sesekali menghisap bibir dan lidahku. Jari lentik Mbak Sintia itu mulai bergerak turun menyusup ke balik handukku menuju buah pantatku.
Sementara kontolku yang hanya ditutupi handuk kecil itu segera berdiri tegang. Bagian bawah kepala Juniorku langsung tergencet oleh perut Mbak Sintia yang langsung menyalurkan getaran-getaran kenikmatan ke seluruh urat syarafku.
Jari-jarinya mulai meraba kedua buah pantatku. Mula-mula rabaannya melingkar perlahan, tapi makin cepat, sampai akhirnya dengan suara mendesah diremas-remasnya dengan penuh nafsu. Aku mencium dan menjilati telinga dan leher Mbak Sintia, membuat tubuh janda cantik dan semok itu menggelinjang-gelinjang. “Ohh.. Bet. Geli ahh..!”
Kuturunkan bibirku dari kuping menelusuri leher, terus turun ke dada. Jari-jarinya pun terasa semakin keras meremas-remas pantatku. Seraya mengecupi areal dadanya, jariku membuka satu persatu kancing pakaiannya itu hingga terlihat belahan dadanya yang besar.
Payudara itu menyembul dari balik baju mandinya, bentuknya menghadap ke atas dengan puting yang langsung mengarah ke wajahku. Amboi.. seksi habis deh. Tanpa membuang waktu, kulahap payudara itu dengan gemas, kusedot-sedot dan kujilati putingnya yang sudah menegang itu.
Tiba-tiba tangan kanan Mbak Sintia berputar ke arah depan. Dengan sekali sentak maka terjatuhlah penutup satu-satunya tubuhku itu. Kulirik cermin lemari, di sana terlihat badan tegapku yang bugil tengah menunduk menghisap buah dada wanita berbadan montok yang masih dibalut pakaian mandinya. Dari kaca riasnya kulihat Mbak Sintia mengalihkan tangan kanannya ke arah selangkanganku. Dan dalam sekejap, Juniorku sudah berada dalam genggamannya.
Dengan lembut dan penuh perasaan, ia mulai mengocok Juniorku ke atas ke bawah. Sesekali ia menghentikan kocokannya dan mengarahkan jempolnya ke urat yang terletak di bawah kepala si Junior.
“Aahh.. Mbaak. Aahh..!” aku hanya dapat mengerang keenakan seraya terus mengecup dan menjilati payudaranya.
Tiba-tiba Mbak Sintia mendorong tubuhku hingga terduduk di atas ranjang dan ia sendiri kemudian berlutut di hadapan selangkanganku. Ia menengadahkan kepalanya dan menatap mataku dengan pandangan penuh nafsu. Bersamaan dengan itu, ia menciumi kepala si Junior, kemudian menjilati lubang kontolku yang sudah dipenuhi dengan cairan lengket berwarna bening.
Tiba-tiba ia memasukkan otongku ke dalam mulutnya dan aku merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan. Mbak Sintia memasukkan dan mengeluarkan otongku didalam mulutnya dengan gerakan yang cepat sambil menggoyang-goyangkan lidahnya sehingga menggesek urat bawah kepala otongku itu.
“Aahh… Ouuhh… Mbak. Uuhh..!” erangku.
Aku hanya dapat terduduk sambil mengerang nikmat dan Mbak Sintia tampak begitu menikmati si Junior yang berada di dalam mulutnya sampai-sampai ia memejamkan matanya. Tangan kiriku kembali meremas-remas bauh dada Mbak Sintia, sedangkan tangan kananku menyentuh bagian bawah buah pantatnya.
“Mmh.. Mmh.. Emhh..!” rintihnya sambil terus mengulum si Junior ketika kuraba-raba memeknya. Mbak Sintia semakin memperkuat sedotannya sehingga memaksaku untuk semakin mengerang tidak karuan.
Seakan tidak mau kalah, kumasukkan tanganku ke selangkangannya dari arah perut dan dengan mudah jariku mencapai liang senggamanya yang sudah sangat basah itu. Dalam 2… 3… 4 detik jariku menyentuh sebuah daging sebesar kacang yang sudah menonjol keluar di bagian atas kemaluan Mbak Sintia.
Jari tengah dan telunjukku segera mengocok kacangnya Mbak Sintia dengan cepat. “Mmhh.. mmhh.. ahh..” Mbak Sintia melepaskan Juniorku dari mulutnya untuk berteriak histeris menikmati kocokanku di klitnya.
Sekitar 10 menit kami saling mengocok, meremas, dan menghisap diikuti dengan gelinjangan dan jeritan-jeritan histeris, ketika tiba-tiba Mbak Sintia menengadahkan wajahnya ke arahku dan merintih.
“Bet… Mbak udah nggak tahan nih… please..!” tanpa menunggu kata-kata selanjutnya kuangkat tubuh janda cantik itu dari posisi berlututnya.
Kusuruh dia meletakkan kedua tangannya di atas meja menghadap cermin rias sehingga Mbak Sintia kini berada dalam posisi menungging. Tampak buah dadanya bergelayut seakan menantang untuk diperah.
Kurenggangkan kedua kaki putih dan mulusnya, lalu kugosok-gosokkan Juniorku di belahan pantatnya sebelum kuturunkan menulusuri tulang ekornya. Kutempelkan di memeknya yang dari tadi sudah siap tempur. Perlahan-lahan kusodokkan kontolku ke dalam kemaluannya yang sudah sangat banjir itu.
“Aahh..!” Mbak Sintia menggigit bibirnya menikmati kontolku yang tengah memasuki memeknya.
“Oohh.. Bet. Oohh..!” erangnya keenakan. “AAAAKHH..!” jeritnya ketika dengan agak keras kusodokkan Juniorku sedalam-dalamnya. Tampak Mbak Sintia itu masih menggigit bibirnya menikmati si Junior yang terbenam penuh di dalam liang senggamanya.
Segera kupompakan si Junior dengan cepat dari arah belakang, terus kutempelkan perut dan dadaku di punggung wanita itu dan kedua tanganku dengan keras meremas-remas dan memelintir kedua puting buah dada Mbak Sintia yang sudah sangat keras itu. “Oohh.. ouhh..!” erangnya keras sekali.
Tiba-tiba Mbak Sintia mengangkat kepala dan badannya ke arahku dengan menengok ke arah kiri dan menjulurkan lidahnya. Dengan cepat kusambut lidah yang menggairahkan itu dengan lidahku dan kami pun berciuman dengan posisi Mbak Sintia yang tetap membelakangiku. Karena ia menegakkan badannya, Mbak Sintia menaikkan kaki kirinya ke atas meja riasnya untuk memudahkanku terus menyodokkan si Junior.
Sambil terus melumat bibirnya dan menyodok, tanganku kembali meremas-remas kedua buah dadanya. Tangan kiri Mbak Sintia menjambak rambut di belakang kepalaku untuk mempererat tautan bibir kami. Ketiaknya yang berbulu lebat menyebarkan wangi khas yang membuatku semakin bernafsu lagi. Tiba-tiba Mbak Sintia merintih-rintih sambil terus mengulum lidahku.
Tampak alisnya mengerut, wajahnya mengekspresikan seakan-akan kenikmatan yang amat sangat menjalari seluruh tubuhnya, ia dengan cepat membimbing tangan kananku yang masih asyik meremasnya untuk kembali memainkan kacangnya. Goyangan pinggulnya menjadi semakin cepat tidak terkendali, dinding kemaluannya mulai terasa berdenyut-denyut.
Dia keluar dengan sangat dasyat, sampai pahaku basah terkena semprotannya. Lalu, aku berhenti sebentar, supaya kondisi memeknya pulih kembali, sebab dia sudah mencapai puncak orgasmenya. Kugendong dia dan kubaringkan di ranjang. Aku kagum dengan tubuhnya yang sempurna itu.
“Kamu kenapa Bet..?” katanya sambil membersihkan bekas cairannya di kemaluannya.
“Robet kagum ama tubuh Mbak yang aduhai itu…” kataku.
“Emang kamu baru pertama ya… melihat tubuh cewek bugil..?” tanyanya.
“Ya… Mbak. Robet baru sekali ini melihat tubuh cewek bugil di hadapan Robet.” kataku.
“Ahh.. kamu bohong. Kalau kamu baru pertama bagaimana kamu bisa semahir itu ngerjain Mbak. Mbak sampai melayang dan keluar sebegini banyak..?” katanya tidak percaya.
“Ya.., Robet nggak tahu. Robet hanya belajar dari pengalaman teman-teman Robet. Itu aja. Robet memang baru pertama kali melakukan ini. Dan ternyata ngesex itu mudah dan nikmat. Apalagi di sini ada cewek secantik Mbak menemani Robet. Ya kan Mbak..?” kataku sambil kukecup bibirnya.
“Ya dehhh. Mbak percaya.” katanya. “Mbak. Robet belum keluar lho.” kataku. “Kamu mau ngerjain Mbak lagi. Ya deh.., Mbak juga udah teransang lagi nih..!” katanya sambil membuka kakinya dan terlihatlah liangnya yang masih sedikit basah.
Perlahan-lahan kuarahkan Juniorku ke depan bibir kemaluannya, sengaja tidak kumasukkan dulu, tapi kubuat main-main dulu dengan cara kuserempetkan ujung kepala Juniorku ke klitorisnya. Dia mulai mengerang lagi. Perlahan kumasukkan batangku ke lubang kenikmatannya yang masih agak basah oleh semprotan cairannya tadi.
Dan, “Bleeess…” batang kemaluanku dengan gagahnya maju memasuki liang surga Mbak Sintia. “Ooh… Betn… enak Betn… oh… terus Betn.. ohh.. oohh..!” desahnya sambil tangannya meremas kedua putingku. Aku semakin mempercepat goyangan.
Setelah beberapa lama, keringatku pun membasahi dada Mbak Sintia. Tubuh kami berdua berkeringat hingga kami pun bermandi peluh. Justru hal itulah yang membuatku makin bernafsu. Sambil merem melek aku menikmati hal itu, hingga perutku mulai mengeras, otot perut mulai mengencang siap untuk meledakkan sesuatu, bergetar hebat.
“Oh Mbak. Robet mau keluar. Robet mulai keluar Mbak..! Keluarin di mana Mbak..? Dalem ya..? Oh.. oh..!” aku mengerang kenikmatan.
“Keluarin di dalam aja Say, Mbak juga mulai keluar nih. Yah.. yah.. terus Bet..!” dengan menjerit Mbak Sintia terlihat pasrah.
“Ooh… Mbak… sekarang… yaaa… oh… ah… ahh… sshh… ah..!” “Crot.. crot.. crot.. cret..!” kusemburkan spermaku di dalam liang memek Mbak Sintia, begitu banyak spermaku sampai-sampai tertumpah di sprei.
Aku menjatuhkan badan di sisi Mbak Sintia, lalu Mbak Sintia bangun dan mengulum batangku yang masih berlepotan spermaku, menjilat dan mengulumnya sampai bersih. Rupanya dia menelan sisa-sisa sperma yang ada di batangku, lalu terjatuh di sisiku juga. Kami berdua terengah-engah dengan napas memburu, mencoba memahami apa yang kami lakukan tadi.
“Thank’s ya Mbak. Mbak baik sekali ama Robet.” kukecup kening dan pipinya sambil meremas payudaranya.
“Ya. Mbak puas dengan kamu Bet. Dan mestinya Mbak yang berterima kasih sama kamu. Robet telah mengisi masa kesepian Mbak.
” kata Mbak Sintia sambil mengecup bibirku dengan mesra. Kami pergi mandi membersihkan badan, lalu berganti pakaian terus tertidur dengan nyenyak. Mbak Sintia tidur di sampingku sambil memelukku. Ohh, sungguh nikmatnya.
Kira-kira jam 8 aku terbangun oleh sinar matahari yang menerobos melalui celah gordin jendela. Mbak Sintia masih terlelap dalam pelukanku. Tubuhnya meringkuk seperti anak kecil, dan yang lucunya ia sedang mengenyot jempolnya seperti bayi.
Kubelai rambut Mbak Sintia yang tergerai di atas dadaku. Oh ya, pada saat itu aku hanya mengenakan celana pendek saja. Sementara Mbak Sintia memakai kaosku karena dia tidak membawa ganti jadi ya kebesaran.
Ternyata belaianku membuat Mbak Sintia terbangun. Walaupun tidak membuka mata, tapi senyumnya mengembang, masih sambil menghisap jempolnya. Tangan satunya kini menyelinap di antara pahanya dan pahanya semakin dirapatkan.
Kuperhatikan betisnya yang lencir bulir padi, indah sekali plus tumit yang lancip kecil pink. Walaupun udara kamar tidak terlalu dingin, namun tetap saja kulit kami merinding kena dinginnya udara pagi. Aku berusaha meraih jas wool-ku di meja lalu kupakai menyelimuti Mbak Sintia, kontras dengan kulit putih mulusnya.
“Mbak kedinginan ya..?” tanyaku sambil mengecup keningnya. Mbak Sintia hanya mendesah sambil tubuhnya menggeliat merapat. Si Junior dari tadi berdiri terus, sepertinya tidak tahan melihat paha mulus Mbak Sintia. Lalu tanganku menyelinap ke balik jas hitamku mengelus paha mulus Mbak Sintia.
“Bet, udah dong. Mbak ngantuk nihh..!” tiba-tiba Mbak Sintia protes manja. Mendengar itu bukannya berhenti malah jariku mulai menyelinap ke arah pangkal pahanya. Mbak Sintia hanya mendesah manja. Kini terasa lembutnya celana pendek piyama sutraku. Kugesek sebentar kawasan sex spotnya, wah langsung basah dan merembes pada celana sutra hitamnya.
“Ooh Bet, I like that. Terus..! Oohh..!” erang Mbak Sintia. Kusingkirkan jasku lalu kutegakkan tubuh Mbak Sintia sejenak, lalu kubaringkan. Kuambil posisi menindihnya tapi masih kutopang dengan tanganku. Lembut kukecup bibir Mbak Sintia yang merekah.
Ia langsung menyedot dan mengulum bibir bawahku. Tangan Mbak Sintia kini merangkul tengkukku dan bermain dengan rambutku. Tangan kananku masih menopang tubuhku sementara yang kiri merangsang celah kemaluan Mbak Sintia.
Jariku kini menyelinap ke dalam celana sutra dan CDnya dan merasakan halusnya labia mayoranya yang sudah basah. Jari tengahku mulai berani menembus celah basah itu. Wah, masih sempit seperti malam tadi juga. Mbak Sintia mulai mendesah dan menggelinjang. Sekalian saja kulepaskan pakaian tidurnya dan ‘onderdil’-nya. Mbak Sintia tidak protes malah membantu.
Giliran kini celana pendek kutanggalkan. Mbak Sintia tampaknya tidak sabaran juga, kaos oblongnya langsung dilepas, lalu BH-nya, sehingga payudaranya yang montok terlihat menjulang bagaikan ‘Gunung Semeru’. Jadilah kami berdua totally naked and ready to esek-esek.
Perlahan kugesekkan si Junior ke memeknya. Woow.., rasanya panas kontras dengan hawa kamar yang dingin. Lalu perlahan-lahan Mbak Sintia mulai mencoba memasukkan si Junior ke liang kemaluannya dengan bantuan tangannya. Kedua tanganku menopang tubuhku pada ranjang.
“Aah.. Bet..! Terus.., ohh..!” erangnya sambil membantuku dengan menekan pantatku ke depan. Batangku menembus bibir memeknya. Wah.., kok hanya masuk kepalanya saja, jelas saya tidak tahan. Mungkin kemaluannya belum benar-benar basah, soalnya tadi aku tisak pemanasan dulu.
Dengan sentakan, kumulai menekan ke bawah supaya si Jumior masuk lebih dalam, untung Mbak Sintia sudah mulai basah. Dia hanya kaget sebentar sebelum akhirnya ia merangkul tengkukku dan menekankan wajahku pada dadanya yang bulat sintal putih mulus. “Bet, ohhh… punyamu kok tambah melar..? Ohh..!” erangnya. Mbak Sintia terus merintih, sepertinya kesakitan beneran. Ya sudah, lalu kupelankan sedikit.
“Sorry Sayang. Kalau sakit bilang yah..!” seruku berbisik lembut.
Mbak Sintia mengangguk, tampak setetes air mata di sudut matanya. Wah.., tidak tega aku. Ya sudah, kubiarkan dia yang menentukan kecepatan. Walaupun terasa kemaluannya licin dan basah, tapi masih sempit sekali, aku sedikit tidak percaya, padahal tadi malam tidak sesempit ini. Namun perlahan dan pasti Mbak Sintia tetap memaksa si Junior masuk.
Perlahan ia menaikkan pinggulnya. Dengan gerakan setengah berputar, si Junior tertekan untuk menyodok kemaluannya kembali. Batangku sudah tidak sekeras tadi gara-gara aku kasihan melihat nafsuku membuat Mbak Sintia kesakitan.
Lama-lama agak longgar juga. Lalu kuberanikan mulai mengenjot si Junior di dalam liangnya. Mbak Sintia mulai mengerang tidak karuan. Liar dan sexy, tangannya kini meremas pantatku.
Beberapa menit kami begitu bersemangat hingga suatu saat, seketika si Junior serasa dijepit oleh kemaluan Mbak Sintia. Terasa dinding rahimnya meremas-remas dengan dahsyat sekali. “Ohh… Mbak… keluarr..! Ahh..!” erangnya. Lalu, pinggulnya liar menggelinjang dengan kuat. Rupanya Mbak Sintia orgasme. Setelah itu terasa basah sekali sampai cairannya menetes pada kantung kontolku.
Tiba-tiba muncul seleraku menikmati juicenya yang jelas banjir bandang itu. Kucabut si Junior yang disambut protes wajah Mbak Sintia yang merengut. Namun begitu kuraih pinggulnya, ia tahu maksudku. Dengan cepat ia berbalik lalu menungging, kedua tangannya menopang pada pinggiran ranjang sedang lututnya terkembang pada ranjang. Pantatnya yang bulat indah megal-megol menggoda untuk dimasuki.
Mbak Sintia tersentak kaget ketika ternyata aku tidak kembali melakukan penetrasi, melainkan berlutut di belakangnya lalu menjilati celahnya. Satu tangannya meraih ke belakang menjambak rambutku. Ia melenguh keras dan menikmatinya.
Tidak lama kemudian kembali Mbak Sintia mengejang, dan hidungku mendadak basah kena cairan berbau khas yang meleleh. Lalu, tubuh Mbak Sintia langsung lemas di atas ranjang. Langsung saja kuangkat pantatnya. Si Junior masuk lagi dari belakang. Licin banget sampai bunyi kayak orang kentut gitu saking kencengnya genjotanku.
“Ohh.. udah Bet, ahh..!” Mbak Sintia berteriak menyuruhku berhenti, tapi mana mau aku berhenti. Tangannya mencengkeram erat sprei dan tubuhnya terus menggelinjang hebat. Setelah 15 menitan menggenjot, akhirnya kucabut si Junior lalu kubalikkan tubuh Mbak Sintia. Lalu kusodorkan saja kontolku itu ke wajahnya.
“Ahh.. Mbak. Rooobeeet… keluarr..!” erangku keenakan. Kukeluarkan segenap benih cintaku ke dalam mulut Mbak Sintia yang terus menyedot. Si Junior lalu memuncratkan cairanku ke wajahnya. Kira-kira 5 semprotan kukeluarkan, dan dilahap habis oleh Mbak Sintia. Ternyata pengalaman nonton ‘BF’ ada gunanya ya.
Lalu, kami berpelukan dengan tubuh telanjang. “Bet, makasih ya, kamu telah memberi saluran yang selama ini belum pernah Mbak rasakan.” katanya sambil mencium bibirku dengan lembut.
“Terus gimana Mbak tentang rencana Mbak selanjutnya. Mbak mau jadi kekasih Robet..?” tanyaku.
“Entar aja deh, biar Mbak pikir-pikir dulu, Bet.” katanya.
“Bila Mbak benar-benar mau jadi kekasih Robet, Robet nggak akan mengecewakan Mbak.” kataku.
“Ahh, yang bener Bet. Emang kamu masih mau ama aku. Cewek yang udah tua ini..?” katanya.Cerita Seks Dewasa Teman Kuliah Plus Plus Hot
“Robet cinta ama Mbak sejak pertama lihat Mbak tadi. Robet nggak memperdulikan usia Mbak berapa, yang penting Robet cinta ama Mbak.” kataku sambil mengecup bibirnya.
“Ohh Bet, kau sungguh lelaki jantan dan bertanggung-jawab. Sebetulnya Mbak juga suka ama kamu, tapi kan Mbak sadar kalau usia Mbak udah di atas kamu. Tapi, kenyataannya kamu suka ama Mbak. Jadi, Mbak setuju aja. Tapi Robet sabar dulu ya, manis.” katanya sambil mengecup bibirku lagi.
“Tapi.., Mbak masih mau lagi kan esek-esek lagi dengan Robet..?” tanyaku. “Ya dong Sayang. Mbak kan kesepian dan kamu harus memuaskan Mbak setiap waktu. Ya Sayang.” katanya.
Itulah ceritaku yang menjadi salah satu kenanganku bersama seorang suster. Setelah itu aku menjadi kekasih baginya dan selalu siap melayani keinginan birahinya, pokoknya segalanya adalah untuk dia. ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,