Izinkan aku memperkenalkan namaku Anthony, dan teman2 suka memaggil aku dengan Anton. Aku berasal dari kota Malang (Jawa Timur), dan kedua orang tuaku masih tinggal di sana. Umurku baru 25 tahun, dan saat ini sedang studi Master tahun terakhir di Melbourne (Australia).
Sejak lulus SMA aku langsung kuliah S1 di Jakarta, dan sempat bekerja selama setahun di Jakarta setelah lulus S1. Aku mendapat sponsor dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan S2 di Australia. Aku memilih kota Melbourne karena banyak teman-temanku yang menetap di sana.
Di pertengahan bulan November 2015 adalah awal dari liburan kuliah atau di Australia sering disebut dengan Summer holiday (liburan musim panas). Summer holiday di Australia biasanya maksimum selama 3 bulan lamanya. Saat itu adalah pertama kali aku pulang ke tanah air dari studi luar negeri. Rindu sekali rasanya dengan makanan tanah air, teman-teman, dan orang tua.
Saat itu aku pulang dengan pesawat Singapore Airlines dengan tujuan akhir Bandara Juanda, Surabaya. Aku tiba di Surabaya sekitar pukul 11 pagi, dan terlihat supir utusan ayah sudah sejak jam 10 pagi menunggu dengan sabar kedatanganku.
Ayah dan ibu tidak menjemputku saat itu karena hari kedatanganku tidak jatuh pada hari Sabtu atau Minggu, ditambah lagi dengan macetnya lalu lintas yang membuat mereka malas untuk ikut menjemputku di bandara.
Wajah supirku sudah tidak asing lagi denganku, karena supir kami ini sudah bekerja dengan ayah sejak aku berumur 5 tahun. Dia sudah aku anggap seperti pamanku sendiri. Aku sangat menghormatinya meskipun pekerjaannya hanya seorang supir.
Aku sempat mencari makan di kota Surabaya. Tempat favoritku tetap di restoran kwee tiau Apeng. Suasana restoran nampak tidak ramai, mungkin masih pagi hari. Di malam hari terutama di malam minggu, restoran ini akan penuh dengan antrean panjang.
Seabis makan, aku meminta supirku untuk langsung jos pulang ke Malang. Badanku terasa letih sekali karena perjalanan yang panjang. Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu mengobrol santai. Bahasa jawa supirku masih terkesan medok sekali.
Dahulu semasa sma, bahasa jawaku juga lumayan medok. Tetapi sejak kuliah di Jakarta, aku jarang memakai bahasa jawaku, sehingga terkesan sedikit luntur. Tapi setiap kata-kata jawa yang terucap oleh supirku masih bisa aku mengerti 100%, hanya saja aku membalasnya dengan separuh jawa separuh bahasa Indo.
Kemacetan lalu lintas akibat banjir lumpur di kota Porong sempat menyita perjalanan pulang kami. Aku tiba di rumahku di kota Malang sekitar jam 4 sore. Sesampai di gerbang rumah, supirku menekan klakson, memberi peringatan orang di dalam rumah untuk membuka pintu gerbang.
Tak kurang dari 2 menit, pintu gerbang terbuka dan aku membuka jendela mobilku memberi sapaan hangat kepada bibiku. Bibiku yang satu ini juga lama ikut dengan ayah dan ibu.
Bibiku ini bernama Tutik, dan sudah berumur sekitar 50 tahun lebih. Bibi Tutik jago sekali memasak masakan Indonesia. Makanan bibi yang paling aku rindukan selama aku kuliah di Jakarta dan Melbourne. Aku sudah membuat daftar panjang masakan Bibi Tutik selama 3 bulan liburan musim panas ini.
Setelah bersalaman dan bercanda ria dengan Bibi Tutik, tiba-tiba sosok gadis muda keluar dari pintu rumah memberikan salam kepadaku. Aku sempat tercengang oleh wajah cantik gadis yang masih terasa asing bagiku.
Ternyata gadis muda ini adalah pembantu rumah yang baru, karena pembantu sebelumnya telah menikah dan pindah bersama suaminya. Aku menafsir bahwa umur gadis ini sekitar 17 atau baru 18 tahun. Setelah diperkenalkan oleh Bibi Tutik, pembantu baruku ini bernama Ijah.
Ijah berperawakan sedang, sekitar 158 cm. Kulitnya sawo matang. Matanya hitam dan lebar sehingga tambak bersinar-sinar. Rambutnya hitam sebahu. Besar payudaranya bisa aku tafsirkan sekitar 34C. Pinggulnya mantap dan kakinya mulus tanpa ada borok.
Wajahnya cantik berhidung mancung, hanya saja bibirnya sedikit tebal. Tapi mungkin itu yang membuatnya unik. Aku sempat tidak mengerti mengapa ibu bisa menemukan pembantu secantik ini.
Ijah membantuku membawa koper bagasiku masuk, dan menanyakan diriku apakah ada cucian atau pakaian kotor yang akan dicuci. Sepertinya Ijah telah diberi info oleh ibuku bahwa aku biasanya selalu membawa pakaian kotor sewaktu pulang dari Jakarta. Jadi tidak heran ibu bisa menduga bahwa aku pasti juga membawa baju kotor pulang.
Aku unpack 2 koper dan memisah-misahkan pakaian kotor dengan pakaian bersih, dan juga menata rapi oleh-oleh dari Australia. Aku sudah menyiapkan semua sovenir-sovenir untuk ayah, ibu, bibi Tutik, supir ayah.
Dan tentu saja oleh-oleh yang pertamanya buat pembantu lama yang kini sudah tidak bekerja lagi dengan kita, saya berikan kepada Ijah. Ayah aku belikan topi cowboy dari kulit kangguru. Menurutku cocok untuk ayah, terutama disaat ayah sedang berkunjung di kebun apelnya.
Ibu aku belikan kulit domba yang halus untuk hiasan lantai kamarnya. Supir ayah aku belikan korek api berlogokan kangguru dan kaos bergambarkan benua Australia. Sedangkan bibi Tutik dan Ijah, aku belikan 2 parfum lokal untuk setiap orang.
Ijah tampak hepi banget diberi oleh-oleh parfum dariku. Aku memang sengaja memilih parfum dengan botol yang unik, sehingga terlihat sedikit mahal.
Ayah dan ibu pulang dari kantor sekitar jam 6 sore. Malam itu bibi Tutik aku minta untuk memasak petai udang kecap favoritku. Aku melepas rindu dengan ayah dan ibu. Kami berbincang-bincang sampai larut malam. Tak terasa kami telah berbincang-bincang sampai jam 11 malam.
Kemudian aku berpamitan dengan ayah dan ibu. Badanku sangat letih. Aku sudah hampir 36 jam belum tidur. Aku tidak terbiasa tidur di dalam pesawat.
Sewaktu aku hendak menuju ke kamar tidurku, aku sempat berjalan berpas-pasan dengan Ijah. Melihat aku hendak berpas-pasan dengannya, Ijah langsung membungkukkan sedikit badannya sambil berjalan. Mata kami tidak saling memandang satu sama lain. Menurut tradisi kami, tidak sopan pembantu bertatap pandang dengan majikan saat berjalan berpas-pasan.
Malam itu, meskipun badan letih, aku masih belum langsung tidur. Aku sedang melihat-lihat photo-photoku dan teman-teman di Melbourne di handphoneku. Aku sempat kangen sedikit dengan Melbourne. Aku juga sempat berpikir mengenai Ijah, dan penasaran sekali bagaimana ibu bisa menemukan pembantu secantik Ijah.
Keesokan harinya aku bangun jam 10 pagi. Aku sudah tidak ingat sudah berapa jam aku tidur.
Suasana rumah sedikit hening. Ayah dan ibu sudah pasti balik ke kantor lagi. Aku memanggil-manggil bibi Tutik, dan tidak ada jawaban darinya. Tak lama kemudian Ijah muncul dari kebun belakang.
“Nyo Anton wis mangan? (tuan muda Anton sudah makan?)” tiba-tiba Ijah bertanya memecahkan suasana hening di rumah. Istilah ‘Nyo’ adalah kependekan dari ‘Sinyo’ (bahasa Belanda rancu) yang sering dipake di Jawa yang artinya tuan muda.
Aku berusaha membalas pertanyaan Ijah dengan bahasa Jawa. Tapi aku sudah tidak terbiasa berbincang-bincang dengan 100% bahasa Jawa.
“Durung, aku sek tas tangi kok. Mana bibi? Aku sudah laper nih! (Belon, aku baru aja bangun tidur. Mana bibi? Aku sudah lapar nih)” jawabku separuh Jawa separuh Indo.
“Bibik melok nyonya. Ora ero budal nang endi. Nyonya mau tetep pesen nang aku lek Nyo Anton pengen tuku apo gawe mangan isuk (Bibi ikut nyonya. Tidak tau pigi kemana. Nyonya tadi titip pesan kepada saya kalo tuan Anton ingin beli apa untuk makan pagi)” kata Ijah.
Pagi itu aku berharap bibi Tutik memasak untukku. Tapi apa boleh buat, aku akhirnya meminta Ijah untuk beli nasi pecel favoritku di dekat rumah. Hanya sekitar 100 meter dari rumahku. Setelah memberi uang kepadanya, Ijah pun langsung segera berangkat.
Sambil menunggu Ijah kembali, aku menyalakan TV sambil menonton acara-acara di beberapa stasiun swasta. Rindu sekali aku dengan siaran-siaran televisi Indonesia. Aku sudah tidak sabar untuk menonton acara favoritku.
Hanya sekitar 20 menit, Ijah telah kembali. Sambil makan nasi pecel aku kembali menonton TV, sedangkan Ijah juga kembali ke kebun belakang kira-kira mencuci atau menjemur pakaian.
Mataku sempat mencuri-curi pandang ke kebun belakang. Terlihat wajahnya berkeringat karena terik matahari. Seperti yang aku duga, Ijah sedang menjemur pakaian. Aku merasa kasihan terhadapnya, karena rata-rata pakaian yang dijemurnya adalah milikku.
Kulihat Ijah sedang berjinjit-jinjit sambil menjemur pakaian. Kaos yang dikenakan Ijah sedikit pendek, sehingga aku bisa melihat perut dan pusarnya. Perut Ijah ramping sekali. Payudaranya sedikit menonjol kedepan. Aku sedikit bergairah melihat kelakuan Ijah saat itu.
Aku menjadi tidak berkonsentrasi menonton TV, mataku tetap melirik saja ke arah Ijah.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara bibi Tutik.
“Anton sek tas tangi?! Cek siange tangine. (Anton baru bangun. Kok siang banget bangunnya)” suara bibi Tutik membuyarkan semuanya.
“Bibi teko endi? Tak carik-carik mau. (Bibi dari mana? Dari tadi aku cari-cari)” jawabku.
“Bibi sek tas melok nyonya nang pasar. Mari ngono barengi nyonya nang omahe koncone nyonya diluk. (Bibi tadi ikut nyonya ke pasar. Setelah itu nemenin nyonya ke rumah temannya sebentar)” jawab bibi.
“Anton gelem opo siang iki? Gelem sambel lalapan Tutik? (Anton pengen apa siang ini? Pengen sambel lalapan Tutik)” tanya bibi. Maklum memang sambel lalapan bikinan bibi Tutik tiada duanya. Makanya aku menamakannya ‘Sambel Lalapan Tutik’. Aku pernah berpikir untuk membuka depot khusus masakan bibi Tutik. Mungkin suatu hari nanti rencanaku ini bisa terwujud.
“Wuahhh … gelem bibi. Wis kangen aku mbek sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang mbek goreng tempe sisan yo. (Wuahhh … mau bibi. Dah kangen aku ama sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang dan goreng tempe juga yah)” jawabku dengan girangnya.
Hari demi hari, waktuku hanya terbuang menonton TV, makan masakan-masakan bibi Tutik, dan jalan-jalan ama teman-teman lama. Kadang-kadang aku berkunjung ke rumah sodara ayah, sodara ibu, dan sepupu-sepupuku. Lama kelamaan bahasa Jawaku kembali lagi seperti yang dulu.
Sudah sebulan lamanya, aku hanya bisa memandang sosok Ijah dari kejauhan. Semakin banyak memandang, semakin tumbuh rasa penasaran yang besar pula. Ijah tampak semakin lama semakin cantik di mataku.
Dan maaf, kata-kata yang sebenarnya adalah Ijah semakin membuatku bernafsu. Ingin sekali aku memiliki dirinya, jiwa dan raganya. Aku seperti kerasukan saat ini, tiap kali aku melihat Ijah, otakku selalu terbayang-bayang dirinya saat terlanjang.
Pada suatu hari, seingatku itu hari Jumat. Aku bangun kesiangan, lewat jam 11 pagi. Kepalaku pening karena bangun kesiangan. Kulihat sekeliling, bibi Tutik sedang tidak ada di rumah. Aku masa bodoh dengan keadaan sekitar yang sunyi.
Aku duduk di sofa empuk di ruang keluarga, tapi kali ini aku tidak menyalakan tv. Kudengar Ijah sedang di halaman belakang seperti biasanya mencuci baju. Kali ini aku memberanikan niatku untuk mendekati, mungkin awalnya harus saling kenal dulu biar akrab.
Aku tidak pernah ngobrol santai dengan Ijah selama ini, kebanyakan aku ngobrolnya dengan bibi Tutik. Karena mungkin aku telah dibesarkan juga oleh bibi Tutik, jadi apa saja bisa nyambung bila ngobrol dengan bibi Tutik.
Aku beranjak dari sofa dan menuju halaman belakang untuk mengajak Ijah ngobrol. Namun hanya terhitung beberapa langkah dari pintu belakang, aku terpeset dan terpelanting di belakang. Bunyi ‘gubrakan’ tubuhku lumayan keras, dan pinggangku sakitnya bukan main. Ijah terkejut melihat tubuhku yang terpelanting ke belakang. Aku meringis kesakitan, sambil memegangi pinggangku yang sakitnya bukan main.
“Nyo Anton … kok iso moro-moro tibo? … (tuan muda Anton … kok bisa tiba-tiba jatuh? …)” tanya Ijah panik.
Aku hanya bisa meringis sambil menunjuk lantai yang masih basah.
“Lahh … nyo Anton mosok ora ketok lek tehel’e sek basa ngono … endi seng loro? … (lah … tuan muda Anton masa ngga liat kalo lantainya masih basah … mana yang sakit? …)” tanya Ijah sekali lagi.
Aku hanya bisanya meringis sambil memegang pinggulku yang masih saja sakit.
“Mlebu sek nyo Anton … tak urut’e cekno mendingan … longgo’o ndek sofa sek … Ijah golek obat urut ndek kamar nyonya? … (masuk dulu tuan muda Anton … aku urut biar mendingan … duduk saja di sofa … Ijah cari obat urut di kamar nyonya? …)” pinta Ijah.
Aku menurut saja dengan permintaan Ijah. Aku baringkan tubuhku di atas sofa empuk. Tak lama kemudian Ijah kembali sambil membawa minyak tawon. Dia memintaku berbaring dengan posisi telungkup, dan menyuruhku membuka setengah pakaian atasku. Saat ini aku ngga ada pikiran apa-apa, karena aku masih berkonsentrasi membuang rasa sakit di pinggangku.
Ijah terus mengurut-urut pinggangku yang sakit lumayan lama, dan sekali-kali memijatnya. Aku akui pijatan dan urutan Ijah terasa nikmat, sehingga perlahan-lahan rasa sakitnya mulai menghilang. Ternyata pertolongan pertama yang ditawarkan Ijah sangat ampuh.
Kini rasa sakit di pinggangku perlahan-lahan membaik, meskipun masih ada sedikit rasa sakit. Namun rasa nikmat pijatan dan urutan Ijah membuat akal sehatku mati. Aku kemudian timbul rencana lain di dalam otakku.
“Ijah … ora enak iki ndek sofa … nang jero kamarku wae … ndek sofa iki kudu arep melorot wae badanku … (Ijah … kagak enak nih di atas sofa … di dalam kamarku aja … di atas sofa seperti yang mau melorot saja badanku …)” pintaku.
Ijah hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku menuju ke kamarku. Ijah memintaku untuk menunggu di kamar dulu, dia mau menyelesaikan jemuran baju dulu, karena tanggung.
Di dalam kamar, otak kotorku sedang merencanakan taktik bagaimana mendapatkan tubuh Ijah. Segala cara dan taktik telat aku pikirkan, dan banyak sekali yang ada di otak ini.
Selang beberapa saat Ijah mengetok pintu kamarku, dan aku menyambutnya dengan gembira.
“Ijah, bibik Tutik nyang endi? Teko omah jam piro jerene? (Ijah, bibi Tutik pergi mana? Jam berapa nanti pulang katanya?)” tanyaku.
“Bibik ono urusan’e, ketokan’e sesok jange teko omah maneh. Koyok’e urusan penting. (Bibi ada urusan, keliatannya besok baru pulang rumah lagi. Kayaknya urusan penting)” jawab Ijah.
Mendengar jawaban Ijah tersebut, aku girangnya bukan main. Berarti hanya aku dan Ijah saja yang ada di rumah saat ini. Papa/Mama pasti sedang di kantor, dan biasanya mereka baru pulang sekitar jam 6 sore, dan ini masih baru jam 12 siang lewat. Aku mencium bau kemenangan.
“Ijah, pinggangku sek rodo loro … tolong uruten maneh yo … urutan-mu uenak tenan … ora kalah mbek pijetan’e sing wis mahir (Ijah, pinggangku masih rada sakit nih … tolong diurut lagi yah … urutan-mu enak banget … kagak kalah ama pijetan professional)” kataku sambil memujinya.
“Nyo Anton iki ono-ono wae … iki sing pertama Ijah mijetin wong liyo … ora ono pengalaman’e (tuan muda Anton ini ada-ada aja … ini baru pertama kali Ijah pijitin orang lain … masih belon ada pengalaman)” tundas Ijah.
“Walah walah … sing pertama wae wes hebat … pasti Ijah pisan hebat ndek bidang liyo (walah walah … yang pertama kali aja sudah hebat … pasti Ijah ada kehebatan di bidang lain) pujiku sekali lagi.
“Nyo Anton iso wae seh … (tuan muda Anton bisa aja sih)” jawab Ijah singkat.
“Ijah ojok jeluk aku nganggo jeneng ‘nyo’ … koyok cah cilik wae … jeluk nganggo jeneng mas Anton wae … (Ijah jangan panggil aku dengan nama ‘nyo’ … kayak anak kecil aja … panggil mas Anton aja)” pintaku. Ijah hanya menganggu tanda setuju.
Suasana kamar sempat hening, hanya terdengar bunyi napas Ijah yang sedang asyik mengurut pinggangku. Tiba-tiba Ijah bertanya “Wes mendingan saiki mas Anton? (Dah mendingan sekarang mas Anton)”.
Otakku langsung merespon pertanyaan Ijah dengan cepatnya. “Pinggangku wes mendingan, tapi roso-roso’ne pokangku rodo linu. Coba’en diurut pisan pokangku. (Pinggangku sudah mendingan, tapi rasanya pahaku rada linu. Coba diurut juga pahaku)” jawabku ngawur tapi mengena.
Tanpa protes atau bertanya Ijah langsung mengurut pahaku. Pertama-tama paha kananku kemudian paha kiriku, saling bergantian. Posisi tubuhku kini terlentang, sehingga setiap urutan-urutan yang diberikan Ijah sangat terasa nikmat.
Ada sesuatu yang mengganjal di dalam celana dalamku, ingin berdiri saja maunya. Yah singkat kata, batang kontolku dah dari tadi ingin sekali berdiri, tapi masih tertahan oleh celana dalamku.
Setelah selang beberapa saat, dengan tanpa malu-malu, tanpa basa-basi, dan dengan pasang muka beton, aku mulai memberanikan diri.
“Ijah, saiki pokangku wis ora linu maneh, tapi saiki endokku dadi rodo linu. Koyok’e nyambung teko pokang. Tolong sisan, tapi dielus-elus endokku lek ora keberatan. (Ijah, sekarang pahaku dah ngga linu lagi, tapi sekarang buah zakarku jadi rada linu. Kayaknya nyambung dari paha deh. Tolong juga, tapi dielus-elus saja buah zakarku kalo ngga keberatan.)”, pintaku tidak tau diri.
Ijah sempat terhenti, dan bengong aja melihat tingkah polahku yang tidak tau diri itu. Di raut wajahnya tidak tampak seperti protes atau marah, melainkan seperti kaget dan bengong seakan-akan bertanya-tanya.
“Kok iso linu endok’e mas Anton … emange endok’e mas Anton melok kepleset? (Kok bisa linu buah zakar mas Anton … emangnya buah zakar mas Anton ikut terpeleset?)” tanya Ijah lugu.
“Yah, koyok’e ngono. (Yah, kayaknya begitu)” jawabku singkat.
Tanpa banyak tanya lagi, Ijah perlahan-lahan mulai mengelus-elus buah zakarku dari luar celanaku. Rasanya tidak begitu nikmat, tapi ada getaran napsu yang muncul dari otakku.
“Uenak mas Anton? (Enak mas Anton?)” tanya Ijah. Aku menjawab dengan mengeleng-gelengkan kepalaku pertanda tidak enak.
“Yo opo sek uenak? (Trus gimana yang enak?)” tanya Ijah lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian aku perolotin celanaku berserta celana dalamku. Serentak melihat gelagatku, Ijah kaget bukan main dan secara reflek memejamkan matanya.
“Mas Antonnn … lopo kok mlorotin katok … ora ono acara’ne ngomong dhisik … (Mas Antonnn … kenapa kok melorotin celana … tanpa ada acara ngomong lagi)” protes Ijah dengan matanya yang masih terpejam.
“Loh, Ijah sek tas mau takok yok opo cekno uenak … lah ya aku plorotin wae katok’e … cekno uenak elus-elusan’e (Lho, Ijah tadi tanya gimana caranya biar enak … yah aku lepas saja celananya … biar enak elus-elusannya)” jawabku menyakinkan Ijah.
Ijah masih tetap memejamkan matanya, tapi tangannya mencoba meraba-raba pahaku mencari buah zakarku lagi. Setelah mendapatkan buah zakarku, Ijah kembali mengelus-elusnya lagi. Kali ini … alamak … enak banget. Terasa lembut sekali tangan Ijah. Serentak saja, batang penisku langsung tegak dan mengeras.
“Lah … opo iki mas Anton … kok atos soro? (Lho … apa ini mas Anton … kok keras banget?)” tanya Ijah heran dengan mata sambil terpejam.
“Yo delok’en wae Ijah … buka’en moto-mu cekno weruh … ora bahaya kok (Yah liat aja Ijah … buka dulu matanya biar tau … ngga bahaya kok)” jawabku dengan jantungku berdegup-degup kencang.
Perlahan-lahan Ijah membuka matanya, dan langsung terbelak kedua matanya sambil terheran-heran.
“Lah … manuk’e mas Anton kok iso ngaceng koyok ngono … linu sisan tah? (Lho … burung mas Anton kok bisa tegang kayak gitu … linu juga tah?)” tanya Ijah lugu.
“Iki jeneng’e manukku ‘happy’ alias seneng … soale endok’e dielus-elus wong wedok sing ayu kayak Ijah (Ini namanya burungku ‘happy’ alias senang … soalnya buah zakarnya dielus-elus wanita cantik kayak Ijah)” kataku mulai merayu.
“Mas Anton iki … (Mas Anton ini …)” kata-katanya terputus dan terlihat wajah Ijah yang malu-malu atas pujianku itu. Ijah ternyata masih lugu dalam hal beginian, membuatku semakin yakin kalo Ijah ini masih ting-ting alias perawan.
Tanpa disuruh olehku, Ijah mulai mengelus-elus batang penisku dengan lembut, kadang-kadang mengurut-urutnya. Tak karuan rasa, semakin dielus, semakin tegang dan tegak berdiri. Ijah dari tadi senyum-senyum saja, dan tampak wajahnya yang masih malu-malu.
BERSAMBUNG
Setelah lama dielus-elus oleh Ijah batang penisku berserta buah zakarnya, aku ingin melaju di langkah berikutnya. Aku semakin berani dan tidak sungkan-sungkan lagi. Sambil berbaring kutatap wajah cantik dan manis Ijah.
“Ijah …” kataku.
“Emmm …” jawab Ijah singkat.
“Saiki gantian yo … (Sekarang gantian yah)” kataku.
“Gantian yo opo? (Gantian gimana?)” tanya Ijah.
“Hmmm … ngene … saiki gantian aku … teko mau Ijah wis delok manukku mbek endokku … sek dielus-elus maneh … saiki gantian aku seng delok tempik’e Ijah (Hmmm … gini … sekarang gantian aku … dari tadi Ijah dah liat burungku ama buah zakarku … dan dielus-elus lagi … sekarang gantian aku yang liat memek Ijah” kataku tanpa basa-basi.
“Emoh mas Anton … isin aku … ojok mas Anton … (Ngga mau mas Anton … malu aku … jangan mas Anton)” tolak Ijah.
Penolakan Ijah yang setengah hati itu membuatku makin penasaran dan makin bernapsu. Aku beranjak dari ranjang, dan memaksa lembut Ijah untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjangku. Setelah berhasil merebahkan tubuhnya Ijah langsung bertanya.
“Mas Antonnn … kate diapakno aku? (Mas Antonnn … mau diapain aku?)” tanya Ijah pasrah.
“Menengo wae Ijah … ora aku apak-apak’no kok … mek arep delok tempik’e Ijah … ora adil lek teko mau manukku tok seng didelok (Diam aja Ijah … ngga bakalan aku apa-apain kok .. cuman pengen liat memek Ijah aja …ngga adil kalo dari tadi burungku saja yang diliat)” kataku bohong. Padahal dibalik benakku banyak hal yang aku ingin lakukan terhadap Ijah, terutama terhadap tubuhnya.
Aku sekap roknya, dan aku tarik celana dalam dibalik roknya. Ijah berusaha menahannya, tapi usahanya sia-sia, karena dia menahannya dengan setengah hati alias tidak dengan sekuat tenaga. Kelakuan Ijah ini seperti lampu hijau untukku. Seakan-akan pasrah saja mau diapain olehku.
Setelah berhasil melepas celana dalamnya, aku tarik roknya ke atas perutnya, agar supaya aku bisa melihat jelas memeknya. Secara reflek Ijah menutup memeknya dengan tangannya.
“Wes mas Antonnn … isin tenan aku … (Udahan mas Antonnn … malu banget aku …)” kata Ijah.
“Durung Ijah … ojok mbok ditutupi tok tempik’e … ora ketokan … (Belon Ijah … jangan ditutup terus dong memeknya … ngga keliatan)” kataku protes.
Aku kemudian tarik tangannya yang sedang menutupi memeknya. Ijah langsung menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan kedua pahanya menyilang. Ijah masih terus berusaha menyembunyikan memeknya dariku. Bisa aku maklumi perasaan malu yang sedang Ijah alami. Aku mencoba merayu dan menyakinkan Ijah apa adanya.
“Ojok isin-isin Ijah … ora ono sing ndelok kok … men aku tok wae … (Jangan malu-malu Ijah … ngga ada siapa-siapa yang bisa liat kok … cuman ada aku saja …)” rayuku lagi.
Kini Ijah mulai pasrah, dan kedua pahanya yang tadinya menyilang, sekarang sudah mulai kendor. Segera saja aku ambil kesempatan ini untuk mengendorkan pertahanan Ijah. Setelah aku berhasil membuka selangkangan Ijah … alamak … aku langsung menelan ludah.
Memek Ijah begitu indah dan subur ditumbuhi oleh jembut-jembut yang masih lembut. Aku yakin jembut-jembut ini tidak pernah sekalipun Ijah cukur sejak pertama kali tumbuh, sehingga masih tampak halus lembut.
Kucoba lagi membuka selangkangan Ijah lebih lebar lagi, aku ingin sekali menemukan biji etil Ijah. Aku merasa kesulitan menemukan biji etil Ijah dengan mata terlanjang. Ketika aku mencoba membuka bibir memek Ijah untuk menemukan biji etilnya, Ijah langsung protes.
“Mas Anton … ojok mas … (Mas … jangan mas …)” pinta Ijah. Aku semakin gemas dengan nada penolakan pasrah Ijah.
Aku tidak mengubris permintaan Ijah, dan semakin gencar bergerilya mencari biji etilnya. Ternyata tidak susah menemukan biji etilnya dengan mencari pakai tangan. Aku mainin biji etilnya dengan gemas.
“Mas Anton … wes mas … uisin tenan aku … (Mas Anton … udahan mas … malu banget aku)” mohon Ijah.
Otakku sudah gelap, dan tetap memainkan biji etilnya. Ternyata tidak perlu memakan waktu lama untuk membuat memek Ijah basah. Mungkin ini pertama kalinya Ijah merasakan nafsu birahi alias horny. Dia seperti tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi saat itu.
Kedua tangan tidak lagi menutup wajahnya. Tangan kanannya bersembunyi di balik bantal, dan tangan kirinya meremas guling. Ijah menggigit bibir bawahnya, seolah-olah menahan geli. Tidak kudengar suara desahan dari mulut Ijah, tapi nafasnya kini sudah berubah menjadi memburu. Aku berasumsi bahwa Ijah masih belum bisa atau belum terbiasa mendesah.
“Ijah … tempik mu wis buasah tenan saiki … (Ijah … memekmu dah basah banget sekarang)” pujiku.
“Masss … masss … wes masss … Ijah mbok opok’no … jarene mbek delok tok … saiki kok di dolen tempik ku (Masss … masss … udahan masss … diapain Ijah … katanya cuman mau liat aja … sekarang kok dimainin memekku)” protes Ijah pasrah.
“Aku wes kesengsem karo tempikmu iki … gemesi wae … tak elus-elus malah dadi buasah … (Aku dah jatuh cinta ama memekmu … bikin gemes aja … dielus-elus malah jadi basah) … ” kataku sambil bercanda.
Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, Ijah secara reflek tiba-tiba menjerit “Mas Antonnn … massssss …”. Ijah orgasme di atas ranjangku.
Aku biarkan Ijah mengambil nafas dulu biar sedikit tenang.
“Ijah sek tas mau kok bengok … loro tah? (Ijah barusan aja kok teriak … sakit?” tanyaku pura-pura bego.
“Ora loro mas … sek tas-an Ijah koyok kesetrum … rasa’e koyok nang surgo … uenak tenan … atiku saiki sek dek-dekan (Ngga sakit mas … barusan Ijah kayak kena setrum … rasanya seperti di surga … enak banget … jantungku sekarang masih deg-degan)” jawab Ijah.
Kini saatnya giliranku untuk orgasme. Kontolku sudah sejak tadi tegang melihat kelakuan Ijah. Pekerjaanku masih belum tuntas. Aku bingung apa yang harus aku katakan ke Ijah bahwa aku ingin menyodok kontolku ini ke dalam memeknya yang masih perawan itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertanya atau berkata apapun. Aku mencoba untuk langsung main terobos saja. Aku kembali membuka selangkangan Ijah, dan mencoba mengarahkan kontolku ke mulut memeknya. Ijah protes lagi.
“Mas Anton arep opo? (Mas Anton mau apa?)” tanya Ijah heran.
“Oh … aku gelem kesetrum sisan … koyok Ijah seng mau (Oh … aku juga mau kesetrum … kayak Ijah tadi)” jawabku spontan.
“Lah … terus laopo manuk’e mas kate mlebu nang tempikku? (Lho … trus kenapa burung mas mau masuk ke memekku?)” tanya Ijah heran.
Ijah benar-benar masih bau kencur di dalam urusan seperti ini. Mungkin tidak ada orang yang pernah mengajarinya teori tentang hubungan seks atau biasanya disebut dengan hubungan pasutri (pasangan suami istri).
“Aku baru iso kesetrum lek manukku mlebu nang tempikmu (Aku baru bisa kesetrum kalo burungku masuk ke memekmu)” jawabku gombal.
“Ojok mas … engkuk loro … jarene wong-wong (Jangan mas … nanti sakit … katanya orang-orang)” katanya.
“Ojok wedhi Ijah … tak mlebu pelan-pelan wae … tak jamin ora loro (Jangan takut Ijah … dimasukin pelan-pelan aja … dijamin ngga sakit)” rayuku.
Ijah diam saja dan pasrah.
Aku kemudian mengarahkan ujung penisku ke bibir vagina/memek Ijah. Ijah memejamkan matanya, dan kini giginya kembali menggigit bibir bawahnya.
Tangan kananku memegang pangkal penisku agar batang kontolku tegak dengan mantap, dan tangan kiriku berusaha membuka bibir vagina Ijah, supaya aku bisa melihat lubang memeknya. Karena Ijah masih perawan, ngga mudah untuk menembuh pintu masuk gadis perawan.
Hal ini sudah aku alami sekali dengan pacar lamaku. Aku ngga ingin melihat Ijah nantinya menangis seperti yang dialami oleh mantan pacarku yang dulu, setelah aku paksa masuk batang kontolku ke lubang memeknya yang masih perawan.
Pertama-tama aku basahi terlebih dahulu ujung penisku dengan air ludahku biar menjadi pelumas sementara, kemudian aku dorong masuk ujung penisku kira-kira sedalam 2 centi. Setelah berhasil masuk kira-kira kedalaman 2 centi, aku diam sejenak, kulihat Ijah sedikit meringis menahan perih.
“Perih Ijah?” tanyaku iba.
“Rodok perih mas (Rada perih dikit mas)” jawab Ijah yang kini matanya kembali terbuka memandangku.
“Tak mlebu alon-alon yah … lek perih ngomong’o … ojok meneng ae … (Aku masukin pelan-pelan yah … kalo perih bilang aja … jangan diam aja) …” suruhku.
Suasana kamarku makin panas saja rasanya. Aku lepas bajuku, sehingga kini aku sudah terlanjang bebas. Kondisi Ijah masih lengkap, hanya roknya saja yang terbuka.
Batang penisku yang dari tadi sudah masuk 2 centi itu masih tampak keras saja. Aku kini tidak lagi memegangi batang kontolku, karena dengan menancap 2 centi saja di dalam memek Ijah dalam kondisi amat tegang, mudah untukku menembus semua batang kontolku. Tapi kini aku harus memasang taktik biar Ijah nantinya juga menikmati. Perih adalah maklum untuk gadis perawan yang sedang diperawani.
Kedua tanganku kini menahan tubuhku. Aku membungkuk dan menatapi wajah Ijah yang cantik. Ijah masih terlihat sedikit merintih karena rasa pedih yang dialaminya.
Aku menekan lagi batang penisku, masuk sedikit, kira-kira setangah sampai 1 centi. Ijah meringis lagi.
Aku mainkan pinggulku maju dan mundur agar batang penisku maju mundur di dalam liang memek Ijah. Batang kontolku cuman mentok sampai kedalaman kira-kira 3 centi. Tapi aku terus bersabar sampai nanti tiba nanti saatnya yang tepat. Aku teruskan irama maju mundur batang kontolku di dalam memek Ijah.
Perlahan-lahan suara rintihan Ijah semakin memudar, dan wajah Ijah tidak lagi merintih. Ujung penisku terasa basah oleh cairan yang kental. Aku yakin cairan ini bukan air liurku yang tadi, melainkan cairan murni dari memek Ijah.
Sekarang batang kontolku bisa masuk perlahan-lahan lebih dalam lagi, dari 3 centi maju menjadi 4 centi, kemudian dari 4 centi masuk lebih dalam lagi menjadi 6 centi.
“Sek perih Ijah? (Masih pedih Ijah?)” tanyaku. Ijah menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak lagi sakit.
Napas Ijah kini kembali memburu dan terengah-engah, dan tidak lagi menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meremas sarung ranjangku dan tangan kirinya meremas selimutku.
Goyangan pinggulku aku percepat sedikit demi sedikit, memberikan sensasi erotis terhadap memek Ijah. Dalam sekejap kini aku bisa membuat batang kontolku kini terbenam semuanya di dalam lubang kenikmatan milik Ijah.
“Sek perih Ijah? (Masih pedih Ijah?)” tanyaku sekali lagi. Ijah kali ini tersenyum malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
“Tempik mu wis uenak maneh? (Memekmu dah enakan lagi?)” tanyaku bercanda. Ijah mengangguk.
“Ijah … buka en klambimu … mosok ga kroso panas tah? … buka en ae cekno adem (Ijah … buka dong bajumu … masa ngga merasa panas? … buka aja biar sejuk)” kataku. Aku sebenarnya ingin memperawani Ijah dalam keadaan benar-benar terlanjang.
Nanti menurut saja, dan kemudian dia melepas kaos bersama BH-nya, dan masih membiarkan roknya, karena batang kontolku masih sibuk menari-nari di dalam lubang memeknya. Tampak payudara Ijah yang merekah dengan ukuran 32C menurut tafsiranku. Tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Pas untuk ukuranku. Puting susunya berwarna coklat gelap.
Typical atau khas payudara wanita asli Indonesia. Melihat puting susunya yang menantang seperti itu, membuatku gemas rasanya. Aku mencubit sambil memelintir puting susunya, dan Ijah protes atas tindakanku tersebut.
“Masss … loro masss … (Masss … sakit masss …)” protes Ijah lembut. Aku pun kemudian senyum padanya, dan langsung menghentikan tindakanku tersebut.
Aku merasa sudah lama aku menggenjot tubuh Ijah siang itu. Tapi aku masih belum menampakkan tanda-tanda akan datangnya klimaksku. Aku sejak tadi berpikir antara iya atau tidak nantinya aku memuncratkan air maniku ke dalam memeknya.
Sejujurnya aku berkeinginan hati untuk menyirami memek Ijah dengan air maniku, tapi aku juga rada kuatir akan konsekwensinya bila terjadi apa-apa dengannya, alias hamil nantinya.
Nafas Ijah semakin memburu saja, tapi wajahnya tampak makin gelap saja. Darah Ijah seakan-akan memanas dan terkumpul di atas kepalanya. Kali ini Ijah tak kuat untuk menahan genjotan-genjotan dan gesekan-gesekan nikmat yang diberikan oleh batang kontolku. Mulut Ijah kini tak terkontrol. Untuk pertama kalinya mulut Ijah mendesah atau merintih basah.
“Uhh … ohhh … masss … masss … kerih (geli) masss …” rintih Ijah.
“Aku kerih sisan Ijah … Ijah wis arep ngoyo? (Aku geli juga Ijah … Ijah sudah mau pipis?)” tanyaku penasaran melihatnya sudah seperti cacing kepanasan. Leher Ijah sudah mulai berkeringat. Sekujur badanku juga tidak kalah keringatnya. Semakin berkeringat, semakin seru saja aku menggagahi tubuh Ijah.
Seperti tau apa yang aku maksud dengan kata ‘pipis’, Ijah pun menganggukkan kepalanya. Ijah sudah akan memasuki tahap orgasme yang kedua kalinya.
Tidak sampai hitungan 2 menit, Ijah tiba-tiba memekik sambil tangan kanannya meremas biceps-ku.
“Masss … ampunnn masss … kerih mbanget … arep ngoyo ketok’e … aahhh … (Masss … ampunnn masss … geli banget … ingin pipis rasanya … ahhh …)” pekik Ijah dengan tangan kanannya yang masih meremas biceps-ku.
Tidak salah lagi, Ijah telah mencapai orgasme keduanya. Memeknya semakin basah saja. Aku berhenti menggenjotnya dan mendiamkan batang kontolku tertanam dalam-dalam di dalam memeknya yang basah nan hangat. Kurasakan setiap denyutan daging-daging di dalam memek Ijah.
Setelah buruan nafasnya mereda, aku cabut batang kontolku keluar dengan maksud untuk melepas roknya yang masih menempel di tubuhnya. Aku ingin melihatnya bugil tanpa busana apapun.
Saat kutarik batang kontolku, aku melihat sedikit bercak darah di tengah-tengah batang kontolku, dipangkal kontolku, dan di daerah bulu jembutku. Kuperawani sudah Ijah, dan ini adalah bukti keperawanan Ijah yang telah aku renggut darinya.
Ijah kini bugil tanpa selembar kain apapun. Aku kembali memasukkan batang kontolku ke dalam memeknya. Masih terasa basah liang memek Ijah.
“Ijah … saiki aku sing kate ngoyo … siap-siap yo (Ijah … sekarang aku yang harus pipis … siap-siap yah)” kataku.
Ijah seperti tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi kepala mengangguk saja (hanya menurut saja). Aku kembali menggenjoti liang memeknya lebih cepat dari biasanya. Kupercepat setiap hentakan-hentakan, dan bisa kurasakan kenikmatan gesekan-gesekan terhadap daging-daging di dalam memek Ijah. Memberikan sensasi yang luar biasa dasyatnya.
Wajah Ijah kembali memerah, dan kini nafasnya kembali memburu lagi. Kali ini Ijah sudah tidak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih nikmatnya bercinta.
“Ijah … kepenak temenan nyenuk karo Ijah … tempik-mu gurih tenan (Ijah … enak/senang banget ngentot ama kamu … memekmu gurih banget)” pujiku sambil terus menggenjot memeknya.
“Masss Anton … masss … aku arep ngoyo maneh … ahhh masss … (Masss Anton … masss … aku pengen pipis lagi … ahhh masss …)” desah Ijah.
“Iku jenenge arep teko Ijah … ora arep ngoyo (Itu namanya mau datang Ijah … bukan mau pipis)” jawabku sambil tertawa renyah dan Ijah pun tersenyum bingung. Mungkin baginya istilah ‘datang’ masih terasa aneh.
Sekujur tubuhku berkeringat dan tergolong basah kuyup. Sudah berapa tetes keringatku yang jatuh di perut dan dada Ijah. Posisiku menyetubuhinya masih tetap berada di atas. Sejak tadi aku belum menyuruhnya merubah posisi. Mungkin bagiku lebih nyaman untuk Ijah digagahi dengan posisiku di atas. Ijah masih termasuk bau kencur dalam masalah beginian.
Batang kontolku makin lama terasa makin mengeras. Lahar mani di dalamnya ingin segera meletup keluar. Aku sudah tidak mampu untuk berpikir dengan akal sehat kembali.
Otot-otot disekujur batang kontolku sudah tidak mampu lagi membentung lahar panas yang ingin segera menyembur keluar. Aku sudah tidak perduli lagi dengan rasa kuatirku tadi. Aku hanya ingin menyemburkan lahar panas ini secepat mungkin. Isi otakku sudah gelap rasanya.
“Ijah … aku arep teko iki … ora iso di tahan maneh … saiki Ijah … saikiii … Ijahii … (Ijah … aku mau datang nih … ngga bisa ditahan lagi … sekarang Ijah … sekaranggg … Ijahii)” aku mengerang keras diiringi oleh semburan lahar panas dari batang kontolku yang mengisi semua liang memek Ijah.
Semburan panas dari batang kontolku mendapat sambutan hangat dari Ijah. Aku memeluk erat tubuh Ijah, dan Ijah membalas memelukku sambil memekik memanggil namaku.
Aku hanya dapat menduga bila Ijah mendapatkan orgasme-nya yang ketiga kali. Batang kontolku berkali-kali memuntahkan lahar panasnya di dalam lubang kenikmatan milik Ijah. Mungkin sekarang liang memek Ijah penuh sesak oleh lahar maniku.
Aku diam sejenak, mengatur nafasku kembali. Tubuhku masih menindih tubuh Ijah. Kini semua keringatku bersatu dengan keringat Ijah. Aku memeluk Ijah, sambil menciumi lehernya. Batang kontolku masih menancap di dalam memek Ijah. Aku masih belum ingin mencabutnya sampai nanti batang kontolku sudah mulai meloyo.
“Ijah … terima kasih … ” bisikku dalam bahasa Indo. Ijah hanya diam saja. Tak lama kemudian, aku mendengar Ijah menyedot ingusnya. Ternyata mata Ijah tampak berkaca-kaca. Aku menduga kuat Ijah ingin sekali menangis, dan tampak penyesalan di wajahnya.
Melihat tingkah laku Ijah, aku berusaha memberinya comfort (kenyamanan), dan rayuan agar membuatnya lega atau tidak sedih kembali. Aku mengatakan kepada Ijah bahwa ini adalah rahasia kita berdua, dan mengatakan bahwa aku sayang kepadanya.
Aku berjanji padanya bahwa ini adalah untuk pertama dan terakhir kalinya aku menyetubuhinya. Ijah begitu menurut dengan kata-kataku dengan polos dan lugu.
Aku sedikit ada rasa penyesalan telah memperawani gadis cantik dan imut seperti Ijah. Aku meminta maaf kepadanya karena aku khilaf dan tidak dapat menahan keinginanku itu karena sejak lama aku memantau dan melihat sosok dirinya dari kejauhan. Begitu dekat dengannya, aku tidak mampu lagi menahan nafsu birahiku.
Selama liburan musim panas tersebut, aku sering sekali mencuri-curi waktu dan tempat untuk bersetubuh dengan Ijah. Sejak pertama kali memperawaninya, agak susah untukku untuk menggagahi tubuh nikmatnya lagi. Ijah selalu menolak dengan alasan takut sakit atau apa gitu. Tapi dasar lelaki yang penuh dengan akal muslihat, aku tetap berhasil menikmati tubuhnya dan memeknya berkali-kali.
Untung saja, makin lama Ijah semakin menyukai berhubungan badan denganku. Banyak teknik yang aku ajarkan kepadanya, dari BJ, HJ, dan posisi bercinta yang lain (doggy style, woman on top, gaya menyamping, dll). Aku kadang meminta Ijah memberikan BJ atau HJ di ruang keluarga sambil aku menonton TV disaat tidak ada orang di rumah.
Sejak saat itu pula, aku selalu memakai kondom untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Aku tidak ingin aib ini sampai tercium oleh anggota keluargaku yang lain.
Sudah sering kali aku bermain cinta dengan Ijah di liburan musim panas ini. Aku sempat mengganti tanggal pesawatku kembali ke Melbourne agar aku bisa lebih lama di Indonesia. Aku kembali ke Melbourne untuk melanjutkan studiku lagi sekitar akhir Februari.
Semenjak kembali ke Melbourne lagi, aku kangen dengan Ijah, dan rindu bercinta dengannya. Kadang-kadang aku menelpon rumah di waktu siang hari (waktu Indonesia) untuk mengobrol dengan Ijah. Dan seputar obrolan kami adalah tentang ‘gituan’ aja.
Studiku tinggal 1 semester lagi. Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan studiku ini, agar aku bisa kembali ke Indonesia bertemu kembali dengan Ijah. Sebenarnya aku sendiri tidak tau bagaimana masa depanku dengan Ijah.
Tapi aku berkeinginan untuk tetap tinggal di Malang, paling tidak melanjutkan atau bekerja di kantor perusahaan papa. Dengan ini aku bisa senantiasa dekat dengan Ijah. Biarlah nanti waktu yang akan menentukan nasibku dengan Ijah.
TAMAT